Kamis, 09 Oktober 2014

Max Havelaar: Seni Sastra Yang Tidak Diketahui Oleh Generasi Muda

          
 
Sampul depan dari cetakan kelima
Novel Max Havelaar

   Selamat datang para pengguna internet ke blog yang keenam!!!. Kami sangat berterima kasih atas dukungan anda untuk blog ini dan saran anda agar blog ini bisa menjadi lebih baik. Kami baru saja tadi siang (09/10/14) melakukan penambahan yang sangat fundamental yaitu menambahkan musik dan video sehingga membuat suasana blog ini menjadi lebih baik dan penambahan informasi yang mungkin anda akan tertarik. Itu pun tidak akan terjadi jika kita tidak mendapatkan saran dari para pengguna Internet. Kami pun tidak akan bisa mendapatkan kunjungan blog lebih dari 150 jika tidak ada dukungan dari para pengguna Internet. Kami pun mohon maaf jika kami melakukan kesalahan kata dalam blog ini. Pada hari ini, saya yaitu Gerry Tulong dan para pengurus lain dari Bloggers STI NO.2 Grade 11 IPS akan menjadikan para pembaca ini (atau dalam kata lain para pengguna internet) sebagai prioritas utama dalam pengembangan blog ini. Untuk blog yang keenam kita akan memberitau kalian mengenai Max Havelaar. Apakah itu Max Havelaar? Sebenarnya itu ada kata pertama yang saya (Gerry) ucapkan pada saat saya mendengar kata Max Havelaar. Tetapi, untungnya sekarang kita sudah berada di era digital dan globalisasi sehingga saya tinggal mencari mengenai Max Havelaar... dengan mengunakan mbah Google.... hehehe... . Di mbah Google. Saya menemukan arti Max Havelaar. Max Havelaar ternyata sebuah novel yang dibuat oleh orang belanda yang bernama Eduard Douwer Decker yang mengunakan nama pena Multatuli dan novel ini diadaptasi menjadi film berdasarkan nama yang sama oleh director Fons Rademakers. Dari kalimat yang baru ucapkan, terdapat banyak sekali pertanyaan. Siapakah Eduard Douwes Decker? Apa isi cerita dari novel tersebut? Mengapa film itu tidak terkenal di Indonesia? dan lain-lain. Kita akan membahas jawaban itu di blog ini.


Apakah isi dari Novel Max Havelaar?

Cetakan pertama buku
Max Havelaar
Buku ini berisi mengenai kritik mengenai kebijakan pemerintah Hindia Belanda (Indonesia). Cerita dari Max Havelaar sebenarnya bermula dari cerita fiksi dimana ada seorang pedagang kopi yang berdarah Belanda yang bernama Droogstoppel dijumpai oleh teman sekelasnya yaitu yang bernama Sjaalman yang meminta untuk menerbitkan sebuah buku. Buku itu mengenai pengalaman nyata dari Multatuli (alias Max Havelaar) yang pada saat itu menjabat sebagai asisten redisen Hindia Belanda (Indonesia) dimana dia membela masyrakat  lokal yang tertindas. Sayangnya usaha dia gagal akibat dihalangi dari atasan dia yang kewarganegaraan Belanda dan masyrakat lokal yang mempunyai bisnis dengan Belanda. Selain menganut cerita mengenai Multatuli, buku ini juga berisi mengenai cerita cinta yang berasal dari lokal (Indonesia) yang terdapat karakter utama yang bernama Saidjah dan Adinda. Tetapi ini bukan hanya sebuah cerita cinta biasa karena memuat elemen yang mengenai tuduhan tentang explotisasi dan kekejaman yang dilakukan oleh Belanda terhadap masyarakat lokal. Pada akhir bagian buku, Multatuli mengajak para pembaca novel agar mendukung rencana pembatalan kebijakan Belanda di Hindia Belanda dan meminta kepada Raja William III (yang saat itu menjadi kepala negara belanda) untuk ikut campur dalam penyelesaiaan permasalahan ini.


Siapakah Multatuli? dan mengapa Ia membuat Novel Max Havelaar?


Gambar Multatuli
Multatuli (yang berarti "Aku sudah menderita cukup banyak")  merupakan nama pena dari seorang yang berkebangsaan Belanda yang bernama Eduard Douwes Decker yang lahir di Ansterdam. Sebelum dia menjadi terkenal atas karya buku Max Havelaar. Ia megalami banyak sekali kegagalan didalam hidupnya dimana ia gagal menjadi ambtennnar (orang administrasi), gagal menjadi juru bicara di Konsultat Prancis di Nagasaki, mengalami perceraian dengan istrinya dan lain-lain. Alasan mengapa dia menulis buku Max Havelaar adalah karena pada saat dia mendapatkan penugasan di Lebak, Hindia Belanda. Ia menemukan fakta bahwa kerja rodi (suatu sistem yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa masyarakat lokal berkerja keras tanpa henti dan tanpa di gaji oleh Pemerintah Belanda) yang dibebankan pada masyarakat telah melawati batas bahkan menemukan bahwa Bupati Lebak (Pada saat itu Bupati dianggap sebagai Kepala Pemerinthan Bumiputra) dan para pejabatnya melakukan pemerasan terhadap rakyatnya sendiri dengan mengambil paksa ternak mereka atau hasil bumi mereka. Jika mereka membelinya, mereka membayar dengan harga rendah. Karena fakta tersebut, ia memutuskan untuk membuat buku tersebut dengan tujuan bukan hanya untuk memprotes kebijakan Hindia Belanda. Melainkan juga untuk mencari rehabilitasi dan permintaan pensiun dari Pemerintahan Belanda. Eduard Douwes Decker meninggal dunia pada tanggal 19 Febuari 1887 di Jerman. Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.


Dampak dari Buku Max Havelaar

Gambar Warga Pribumi lagi belajar di
Sekolah,Ini bisa terjadi karena adanya
Politik Etnis
Dampak dari buku Max Havlaar tidak hanya merabah bidang seni tetapi juga bidang politik. Dalam bidang seni,buku tersebut memotivasi penulis dalam negeri untuk membentuk suatu kelompok yang bernama Angkatan Pujangga Baru yang bertujuan untuk memajukan perkembangan karya sastra di Indonesia. Sedamgkan di bidang politik, buku ini dianggap berhasil dalam menyadarkan rakyat Eropa dengan penderitaan yang terjadi di koloni seluruh Dunia. Akibat dari desakan publik untuk mengrubah kebajakan Belanda, pada tanggal 27 September 1901. Ratu Wilhelmina (Kepala Negara Belanda saat itu) memperkenalkan politik Etitis dimana Pemerintah Kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi (Baca lebih di Blog Bangkit Indonesia Merdeka ). Buku ini juga menjadi perubahan bagi semangat kebangsaan di Indonesia untuk melawan sistem kolonialisme dan eksplolitasi ekonomi Hindia Belanda. Pada zaman sekarang, buku Max Havelaar menjadi bacaan wajib bagi sekolah-sekolah di Belanda. Buku ini baru terjemahkan ke Bahasa Indonesia pada tahun 1972 oleh HB Jassin.


Mengenai film Max Havelaar


Poster Film Max Havelaar
Pada tahun 1976, Sutradara Fons Rademakers membuat film adaptasi dari Novel Max Havelaar. Film itu pun juga mempunyai nama yang sama dengan nama novel tersebut.Awalnya DA Peransi menjadi co - director dari film ini tetapi mengundurkan diri karena perbedaan kreativitas. Film itu diluncurkan pada tanggal 9 September 1976 dan memilki panjang waktu film sekitar 163 menit. Film ini menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia. Film ini dibintangin oleh:
  • Peter Faber = Max Havelaar.
  • Rima Melati = Mevrouw Slotering.
  • Nenny Zulani = Adinda.
Film ini sempat disubmit untuk nominasi film asing terbaik di Oscar (Academy Award) tetapi gagal menjadi nominasi utama. Sayangnya film ini tidak populer di Indonesia karena diblokir oleh Pemerinrhan orde baru tanpa alesan yang jelas sampai tahun 1987. Terdapat juga link trailer dan film penuh dari Max Havelaar dibawah ini:





Siapakah Fons Rademakers?


Gambar Fons Rademakers
Fons Rademakers merupakan director film berdarah Belanda yang ternama di Belanda. Ia lahir pada tanggal 5 September 1920 di Belanda. Hasil karyanya yang tekenal adalah Makkers Staakt uw Wild Geraas (1960) (Dimana ia memenangkan piala Silver Bear), The Assult (1986) (Dimana memenangkan Oscar (Academy Award) untuk film asing terbaik) dan Max Havelaar.Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Febuari 2007 di Swiss.







Galeri Gambar:



Patung Multatuli di Ansterdam



Halaman judul pada cetakan
ke-lima

Halaman Sampul Max Havelaar
terbitan publisher Pandora


Demikianlah informasi yang telah berikan kepada anda. Kami mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam blog ini.Saran dan Kritik dapat anda sampaikan di gerrytulong@gmail.com .Terima Kasih dan Tuhan menyertai kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar